
Masih hangat di pemberitaan media akan fenomena Rojali atau Rombongan Jarang Beli dan Rohana atau Rombongan Hanya Nanya. Sebagaiamna diliput dari berbagai sumber seperti Kompas, Detik, CNBC Indonesia pada akhir Juli 2025, didalamnya disampaikan bahwa Alphonzus Widjaja selaku Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APBI) menilai aktivitas pengunjung yang sekedar bertanya-tanya atau menawar tanpa membeli adalah hal yang wajar dalam transaksi di pusat perbelanjaan konvensional.
Namun lebih jauh ketua APBI juga menyampaikan “Dikarenakan uang yang dipegang oleh masyarakat kelas menengah bawah semakin sedikit maka terjadi kecenderungan untuk berbelanja barang atau produk yang harga satuannya rendah atau murah” sebagaimana diliput kontan. Ucapan ini bertolak belakang dengan informasi oleh BPS pada awal Agustus yang menyampaikan ekonomi RI tumbuh di angka sekitar 5%, terlepas dari adanya beberapa kritisi dan kritik atas keabsahan data yang dimiliki BPS. Namun yang pasti sebagian masyarakat memiliki perspektif bahwa saat ini masyarakat cenderung menahan belanjanya atas ketidakpastian kondisi ekonomi yang dirasa saat ini dan mendatang.
Namun data BPS mungkin ada benarnya sedikit, sebagaimana Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah mengatakan biasanya Rojali dan Rohana hanya sekadar membeli makanan atau minuman di mal. Itu pun hanya beli sedikit. Pusat perbelanjaan juga tetap ramai, walau ada isu Rojali dan Rohana, setidaknya mereka tetap melakukan belanja, meskipun dinilai sedikit yakni berupa makanan dan minuman.
Customer Need Cycle Mindset
Terlepas kondisi makro ekonomi, dimana para analis sedang mencari penyelesaiannya, di tingkatan akar rumput kondisi ini tidak bisa dibiarkan terus terjadi. Jika pasrah pada kondisi demikian maka centing nasi tidak akan terisi, tagihan listrik tidak terbayar dan dapur rumah bisa padam. Para pemasar akan menjadi orang pertama yang memutar otak untuk menyambung hidup.
Para pemasar mendefinisikan piramida tingkatan kebutuhan dari pelanggan. Ada need yang diartikan sebagai kebutuham, ada want yaitu kemauan dan ada desire atau hasrat. Setiap tingkatan ini memiliki karakter masing-masing dimana kebutuhan adalah sesuatu yang tidak terhindarkan, karena itu adalah kebutuhan dasar, sedang kemauan atau keinginan adalah manfaat yang diterima karena adanya kemauan dan umumnya menghasilkan kepuasan fisik, sedang terakhir desire adalah hasrat yaitu keinginan yang cukup tinggi dan menghasilkan kepuasan emosional.
Mari kita umpamakan seperti makan. Setiap manusia membutuhkan makan, oleh karenanya kebutuhan akan beras tidak akan pernah turun seiring jumlah penduduk. Konsumen membutuhkan beras untuk makan. Lain lagi ketika sudah menjadi kemauan, sebenarnya cukup makan nasi putih kebutuhan nasi kita cukup, namun tidak jarang ada keinginan atau kemauan ingin konsumsi nasi goreng. Tubuh dan otak ini menginginkan lebih dari nasi goreng, harganya memang lebih mahal dari nasi putih karena ada tambahan bumbu dan teknik memasak, tapi ada kepuasan fisik yang dinikmati. Kemudian kita naik lagi ke tingkatan hasrat, saya misalkan Nasi Goreng Kambing Kebon Sirih. Karena konsumen terlalu banyak menonton iklan dan review para foodblogger maka terbangunlah hasrat untuk makan Nasi Goreng Kambing Kebon Sirih. Harganya tidak tergolong murah, dan secara akal sehat biaya yang keluar menuju kesana ditambah biaya membelinya akan lebih mahal ketimbang Anda membuat nasi goreng sendiri atau membeli nasi goreng di sekitar pemukiman. Tapi inilah hasrat, dampak dari persepsi yang terbangun dari iklan yang menciptakan kepuasan emosionil yang tidak jarang mematahkan fungsi logika.
Kita kembali lagi ke Rojali dan Rohana, dilihat dari perspektif Customer Need Cycle ini, barangkali para pemasar gagal menjadikan barang dagangannya menyentuh kemauan atau bahkan menciptakan hasrat para konsumen. Apa yang diperjualbelikan di pusat perbelanjaan sebagian besar adalah produk kemauan, adapun makanan dan minuman tetap menjadi kebutuhan oleh karenanya tidak terpengaruh.
Konsumen butuh hiburan, maka mereka pergi ke pusat perbelanjaan. Mereka tidak butuh dan tidak mau tas, sepatu, makanan mahal dan sebagainya, mereka hanya butuh hiburan, maka jadilah mereka Rojali dan Rohana. Tapi di pusat perbelanjaan nyatanya ada produk yang identik dengan budaya korea yang kini ramai, padahal harganya mahal. Disitu konsumen terbangun kemauan dan hasratnya untuk mengkonsumsi produk identik korea tersebut, karena mereka butuh kepuasan fisik ataupun kepuasan emosional yang ingin dirasakan.
Melalui perspektif ini, mari kita coba instropeksi diri, apakah produk yang kita jual masuk ke dalam kebutuhan, kemauan atau bahkan bisa menjadi hasrat konsumen. Sejauh mana komunikasi visual dan verbal kita membawa kepada kepuasan konsumen di sisi emosional? Apakah kita sudah cukup menarik sehingga konsumen dapat melirik, mencoba, dan terus mengkonsumsi produk dan jasa yang kita layani. Sejauh mana kita bisa memberikan ekspektasi kepuasan kepada konsumen dan memenuhi kemauan dan hasrat mereka.