Once Upon A Cow

Seorang guru yang bijaksana dan berpengalaman ingin mengajarkan muridnya tentang rahasia hidup bahagia dan sejahtera. Untuk mengajarkan ilmu ini, ia memutuskan mengajak muridnya melakukan perjalanan ke salah satu desa yang sangat miskin didaerahnya. Kemiskinan sudah sangat parah dan tampaknya penduduk daerah itu sudah pasrah akan nasib mereka.

Guru itu lalu meminta muridnya untuk mencari rumah termiskin diperkampungan miskin itu. Rumah itu akan menjadi penginapan mereka malam ini. Setelah berjalan, melihat, dan bertanya kepada kepala desa, akhirnya mereka menemukan gubuk reyot yang sudah hampir rubuh.

Bangunan itu sudah hampir roboh, terletak diujung jalan pinggir desa. Berupa bangunan semi permanen yang dipancangkan sekenanya menggunakan bamboo, jerami, dan gedek. Pemiliknya, begitu mendengar ada orang yang datang, menyambut guru dan murid itu dengan hangat.

Dia bahkan mempersilahkan dua orang musafir itu untuk menginap dirumahnya yang sempit dan penuh sesak. Karena ada 8 orang yang tinggal dalam gubuk reyot berisi Ayah, Ibu, empat orang anak, serta kakek nenek didalamnya. Tidak ada harta berharga yang ada dirumah ini. Bahkan mereka tidak memiliki kursi untuk menerima tamu. Semua kegiatan dilakukan secara lesehan beralaskan tikar yang terbuat dari daun pandan.

Sapi

Namun, ketika guru dan murid itu melihat pekarangan belakang rumah, mereka menemukan sebuah fakta unik. Tentang kenyataan bahwa keluarga miskin ini memiliki seekor sapi. Tak ada yang special dengan binatang itu, tetapi kehidupan dan aktivitas harian keluarga tersebut selalu berhubungan dengan sang sapi.

“Jangan lupa cari rumput. Beri sapi itu makan”

“Perah susunya”

“Ikat erat-erat sapinya, kalau sudah malam masukkan ia kekandang. Jangan lupa dikunci”

Bisa dibilang, sapi memainkan peranan penting dalam keluarga tersebut, walaupun susu sapi yang dihasilkan sang sapi tidak banyak dan hampir tidak cukup untuk menghidupi mereka. Sang sapi adalah satu-satunya hal yang mampu menjaga keluarga tersebut dari kemiskinan kronis bin akut. Bahkan sapi itu mampu menaikkan sedikit gengsi mereka diantara keluarga miskin yang lain.

Dirumah yang lebih pantas disebut kandang sapi inilah guru dan murid itu bermalam. Sang murid masih bertanya-tanya dan penasaran tentang pelajaran yang akan ia terima dari gurunya. Setelah makan malam, tak lupa sang guru berpesan kepada tuan rumah jika mereka akan melanjutkan perjalanan pagi-pagi sekali dan tidak akan membangunkan mereka.

Membangunkan Sapi

Pagi-pagi sekali sebelum shubuh sang guru sudah membangunkan muridnya. Belum ada satupun anggota keluarga miskin itu yang bangun.

“Sudah tiba saatnya kamu belajar tentang pelajaran yang membawa kita ketempat yang buruk ini”.

Selama kunjungan singkat itu, mereka telah menyaksikan kehidupan yang sangat memprihatinkan, tetapi anak muda tersebut masih belum mengerti penyebab kehidupan yang menyedihkan dari keluarga itu. Bagaimana mereka membiarkan diri mereka jatuh ketitik ini? Apa yang menahan mereka disini?

“Ikutilah aku. Mari kita pergi”.

Sang guru berjalan mengendap-ngendap keluar rumah. Menutup pintu. Lalu berputar kearah pekarangan belakang rumah. Ia lalu merusak pintu kandang sapi, dan masuk kekandang sempit tempat penyimpanan harta satu-satunya keluarga miskin yang malang ini.

Setelah dekat, tiba-tiba sang guru mengeluarkan pisau dari balik bajunya dan dalam sekali tebas menggorok leher sapi yang sedang berbaring dikandang. Leher sapi langsung putus tanpa sempat mengeluarkan lenguhan keras. Darah membasahi baju sang Guru. Ketika ia keluar kandang, muridnya sangat kaget.

“A…Apa yang kau lakukan Guru!!!” bisik sang murid agar tidak membangunkan keluarga miskin ini. “Bagaimana mungkin kau membunuh binatang malang ini? Satu-satunya harta keluarga yang telah menyediakan tempat bermalam bagi kita. Pelajaran macam apa ini? Mereka akan menjadi seperti apa dimasa depan?”

Cecaran pertanyaan terus dilemparkan oleh sang murid. Guru tua itu hanya tersenyum dan mengajak muridnya meninggalkan desa seperti tidak ada kejadian apa-apa.

Kejadian ini telah mengguncang psikologis sang murid. Ia mulai membayangkan nasib keluarga itu yang mati mengenaskan dalam keadaan kelaparan karena tidak memiliki sapi yang menghidupi mereka lagi. Dalam bulan-bulan berikutnya ia sering terganggu oleh pikiran itu. Bahkan ia menyesal karena tidak mencegah sang guru melakukan pekerjaan gila itu. Tapi mengingat baktinya sebagai murid, ia pasrah dan tidak bertanya macam-macam lagi.

Setahun Kemudian

Satu tahun kemudian sang guru mengajaknya mendatangi perkampungan miskin itu lagi. Sang murid masih belum mampu mengambil pelajaran meski kejadian pembunuhan sapi itu sudah berlangsung selama setahun. Setelah berjalan berhari-hari, bertambah syoklah sang murid menyaksikan gubuk reyot itu sudah tidak ada lagi. Berganti menjadi rumah permanen bergaya minimalis.

Anak muda ini takut jika kematian sapi telah memaksa keluarga miskin tadi untuk pergi meninggalkan desa. Digantikan oleh keluarga mapan yang membeli tanah mereka. Untuk membuktikan kebenaran dugaannya, ia mengetuk rumah tersebut.

Tak lama kemudian, seorang laki-laki yang ramah muncul. Awalnya, ia tidak mengenali laki-laki tersebut. Tapi setelah berbincang agak lama ia semakin yakin jika laki-laki didepannya adalah laki-laki yang menjamu mereka setahun yang lalu! Dengan gaya pakaian modis terbaru. Setelah berbasa-basi, sang guru lalu bertanya tentang nasib baik apa yang menimpa keluarga ini?

Karena sang kepala keluarga menganggap murid dan guru ini sebagai orang baik, mereka yakin jika ada orang lain yang sengaja datang dan membunuh sapi kebanggaan mereka. Lalu dengan bersemangat, ia mulai mengisahkan cerita yang akan mengubah hidup sang murid.

“Harus saya akui, reaksi pertama kami adalah benar-benar putus asa dan pedih. Dalam jangka waktu lama, susu sapi itu adalah sumber penghidupan keluarga kami. Sapi adalah pusat keberadaan kami, dan terus terang, memilikinya memberi kami rasa aman serta rasa hormat dari tetangga kami.

Tak lama setelah hari tragis itu, kami sadar jika tidak melakukan sesuatu, kami akan mati kelaparan. Jadi, kami membersihkan kebun dibelakang rumah dan menanam sayuran dari benih pinjaman kepala desa. Begitulah kami bertahan hidup, dengan mengambil hasil kebun dan menanam sayuran. Tak lama, kami sadar jika kebun kecil itu menghasilkan lebih banyak makanan dari yang kami butuhkan.

Kami menjualnya ke pasar. Dari uang itu kami membeli benih lebih banyak, menanam lebih banyak, dan menghasilkan panen lebih banyak. Lalu beginilah. Sekarang kami sudah membeli lebih banyak lahan untuk ditanami, mengembangkan produk olahan pertanian, dan mampu membangun rumah sederhana ini. Kini kami tahu ada harapan untuk kehidupan baru. Seolah-olah hilangnya sapi membuka mata kami terhadap kehidupan baru yang lebih baik.”

Tentang Sapi

Setelah berbincang cukup lama, murid dan guru memohon pamit. Ditengah jalan, sang guru membuka pelajarannya.

“Sekarang, apakah kamu mengerti? Sapi yang dulu mereka anggap harta paling berharga ternyata borgol yang mengikat mereka pada kehidupan miskin dan tanggung. Mereka dihibur dengan pikiran bahwa sapi itu akan menjaga mereka dari kemiskinan. Dengan kata lain, sapi itu, yang dianggap berkat oleh tetangga yang lain memberi mereka perasaan bahwa mereka tidak hidup dalam kemiskinan absolut, walaupun kenyataannya mereka hidup dalam penderitaan.

Ketika kamu mempunyai pekerjaan yang tidak kamu senangi, pekerjaan yang bahkan tidak memungkingkan dirimu memenuhi kebutuhan dasar dan tidak memberi kepuasan pribadi, keputusan untuk berhenti dan mencari pekerjaan lebih baik sangat mudah dibuat. Namun, ketika pekerjaan yang tidak kamu senangi memungkingkanmu membayar utang-utangmu, bertahan hidup, dan bahkan menikmati sedikit kenyamanan, sangat mudah untuk terjebak dalam kepuasan paling tidak memiliki sesuatu.  Toh, menurutmu, banyak orang berlomba-lomba memiliki pekerjaan seperti itu. Seperti sapi, sikap ini akan terus menahanmu. Menciptakan ilusi tentang zona aman yang takkan pernah ada.”

Sang murid terpaku pada alam pikirannya sendiri. Sambil terus berjalan, sang guru kembali meneruskan:

“Kita semua punya sapi dalam kehidupan. Kita memanggul beban berat dari keyakinan2 yang salah, alasan, ketakutan, dan pembenaran kita. Banyak orang yang keras kepala dan berpegang pada alasan untuk tidak menjalani kehidupan yang selalu mereka impikan. Mereka mengarang alasan yang hampir meyakinkan untuk menjelaskannya kepada orang lain, kemudian terus hidup dalam kegalauan batin ketika menyadari bahwa penjelasan itu, walaupun meyakinkan bagi orang lain, sama sekali tidak berguna bagi mereka.

” Nah, pertanyaannya: Apa “Sapi” yang ada dibelakang rumah kita?

Once Upon a Cow karya Camilo Cruz. Gramedia. 2008.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *