Kenapa Dia yang jadi Menteri, Bukan Aku, Dia atau Mereka

sumber gambar: itnernet

Pemilihan Kabinet Menteri Indonesia 2019 diwarnai pertanyaan publik ketika Bapak Nadiem Makarim ditunjuk menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Menurut Track Record, Bapak Nadiem Makarim memiliki riwayat pendidikan yang sangat bagus dengan menggaet Master Degree di Harvard Business School. Tapi masyarakat lebih mengenal Bapak Nadiem karena dia adalah Bapak Ojek Online. Ketika Bapak Ojek Online terpilih menjadi Menteri Pendidikan, apa jadinya masa depan pendidikan Indonesia? Akankah semua diarahkan menjadi tukang ojek?

Mari kita berpikir, sebenarnya posisi Menteri itu sebenarnya harusnya diisi oleh siapa? Di negara demokrasi posisi menteri umumnya diisi oleh partai politik maupun para profesional. Jika posisi Menteri diisi dari Partai Politik faktor balas budi menjadi alasan utama dibanding faktor lainnya. Namun bagaimana jika diisi oleh profesional? Jika diisi oleh profesional harusnya ada fit and proper test dengan melihat CV Pak Nadiem dan wawancara terlebih dahulu.

Pak Presiden pasti menerima CV dari banyak profesional untuk mengisi posisi sebagai Menteri Pendidikan. Dari sekian ratus atau ribuan CV, Pak Presiden mem filter dengan sangat baik. Karena posisi ini Menteri Pendidikan mungkin syarat minimal adalah lulus kuliah S1. Kalau sekolah di luar negri atau memiliki gelar Master apalagi Profesor itu sudah poin plus sekali. Pak Nadiem mungkin karena sekolah di luar negri dan dibekali gelar Master dari Universitas Harvard lolos uji CV sehingga dapat kesempatan interview oleh Presiden.

Selain Pak Nadiem pasti masih ada beberapa orang lainnya kandidat Menteri Pendidikan. Sebagian dari mereka bisa jadi profesor atau seorang yang sangat senior di dunia perguruan maupun pendidikan. Lalu kenapa Pak Nadiem bisa memenangi wawancara oleh presiden dibandingkan calon lainnya? Kira-kira pertanyaan apa yang Presiden keluarkan ketika bertanya pada para calon Menteri Pendidikan?

“Pak Nadiem coba perkenalan diri!” Ini pasti pak Nadiem dapat poin plus, karena bisa pakai Bahasa Inggris fasih dengan latar belakang pendidikan yang memukau.

“Pak Nadiem tau pekerjaan Menteri atau pernah jadi Menteri?” Pertanyaan ini pasti Pak Nadiem susah jawab, kan tidak pernah jadi menteri

“Pak Nadiem tau tentang pendidikan di Indonesia?” Mungkin Pak Nadiem  hanya bisa jawab dengan jawaban umum, tidak sanggup jawab terperinci khusus permasalahan kendala dan sebagainya.

“Pak Nadiem, Kenapa Saya harus angkat kamu jadi Menteri Pendidikan?” Mungkin jawaban terakhir ini yang membuat Pak Nadiem dipilih menjadi Menteri Pendidikan.

First Who, Then What

Jim Collins, seorang dosen juga penulis buku Good to Great mengemukakan konsep First Who, Then What. First Who, Then What adalah konsep yang unik dari Jim Collins karena sering kali berlawanan dengan konsep dari Human Resource Development sebuah perusahaan. Ketika mencari seseorang atau karyawan untuk mengisi posisi suatu jabatan, HRD akan mendefinisikan pekerjaannya baru kemudian mencari orangnya. Faktor yang menentukan diterimanya seseorang pada pekerjaan adalah kecocokan dan pengalaman pelamar terhadap pekerjaan yang akan dihadapinya. Konsep Jim Collins berbeda! Bagi Jim Collins tidak peduli pekerjaannya, yang perlu diketahui adalah karakter orangnya terlebih dahulu. Sangat berlawanan.

Bagi Jim Collins, Siapa orangnya jauh lebih penting daripada apa pekerjaannya. Tiga alasan simple bagi Jim Collins dengan konsep ini. Pertama, Dengan tau siapa orang yang ada dalam organisasi kita, kita akan lebih mudah beradaptasi dengan lingkungan situasi yang terus berubah. Jika orang didalam hanya fokus pada pekerjaannya maka mereka akan susah untuk berubah, namun jika kita tau orangnya mereka pasti orang-orang yang mengikuti kemanapun kita pergi. Kedua, dengan tau orangnya kita sudah menyelesaikan masalah utama memotivasi kerja setiap orang. Terakhir, jika ada orang-orang yang kurang tepat, sebagus apapun visi strategi dan misi yang akan dituju, hasil akhirnya tidak akan luar biasa alias “B”aja. Great vision without great people is irrelevant.

Memilih menteri sebagai pembantu Presiden adalah perkara masa depan 5 tahun lagi. Visi Indonesia 5 tahun lagi meningkatkan ekonomi, mengurangi kemiskinan dan menjadikan orang Indonesia semakin bermartabat. Tapi siapa yang tau apa yang akan terjadi 5 tahun lagi? Mungkin akan terjadi bencana alam? Mungkin terjadi krisis ekonomi? Mungkin terjadi endemik penyakit? Mungkin terjadi serangan alien? Siapapun tidak ada yang tau. Jadi bukanlah tepat mencari orang yang mampu menyelesaikan pekerjaan menteri, lebih tepat mencari orang yang sanggup menghadapi masa depan yang tak pernah pasti.

Apakah Nadiem kompeten? Dia tidak pernah jadi Menteri, dia bukan guru, dia lebih banyak sekolah diluar negeri, terlebih keseharian Nadiem bukan ngurus murid atau pelajar, Nadiem keseharian ngurus tukang ojek. Dia ngurus tukang ojek sehingga sekarang tukang ojek menjadi lebih mermartabat meningkatkan ekonomi masyarakat kecil. Dia memberikan solusi transportasi masyarakat dengan gojek yang aman, berstandar kerja dan tidak matuk harga. Dia mengubah mind set masyarakat terhadap pekerjaan tukang ojek, sekarang tidak ada yang malu mengatakan bapaknya seorang tukang ojek. Karena pekerjaan tukang ojek sekarang diapresiasi masyarakat atas jasanya memberikan kemudahan hidup. Jadilah Nadiem menjadi Menteri pilihan Presiden.

Lalu kira-kira, apa jawaban Nadiem ketika presiden bertanya, “Kenapa aku harus menjadikanmu Menteri?”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *